POSTINGAN POPULER

Mengenai Saya

Foto saya
Kampuang Padang, Batu Basa,IV Kot Aur Malintang, Padang Pariaman,Sumatra Barat, Indonesia
Aku adalah aku dan ke-Akuan we...we Life, Mw The Best, we Defenity Make Itt jangan menangis karena takut, tapi takutlah untuk menangis..Maka teruslah berjalan, Tuhan Selalu bersam Kita. Thank To ALLAH!!!

Sabtu, 13 April 2013

FENOMENAL WANG HILANG & DISKRIMINASI SOSIAL TERHADAP LELAKI PARIAMAN



Oleh  : ASRUL KHAIRI


Wangilang adalah salah satu tradisi  budaya di Pariaman, biasanya calon mempelai Perempuan  memberikan atau mempelai lelaki  meminta sejumlah uang sebagai wangilang untuk calon mempelai laki-laki. Kebiasaan ini konon kabarnya dimulai jauh semenjak zaman Bundo Kanduang hingga sekarang masih melekat kental dalam pembawaan budaya Nikah Kawin di Pariaman. Adakah  produk ini telah menjadi adat dan budaya yang turun temurun  Adat Lamo, pusako Zaman, adaiknyo samo kito rimbunkan, pusakonyo samo kito gampakan”
Kebiasaan wangilang itu kini kian hari tumbuh dan berkembang menjadi sebuah jargon  dalam prosesi pernikahan pada kebanyakan keluarga orang Pariaman. Tumbuh dan mengakar sebagai warisan budaya, wangilang menjadi sosok prosesi yang fenomenal di tengah masyarakat pariaman, maupun yang berasal dari luar daerah pariaman. Sebab kenapa tidak, untuk menjemput atau memilih seorang lelaki di Pariaman sebagai calon suami mestilah keluarga perempuan harus menyiapkan uang untuk penjemput si calon mempelai lelaki dan  jumlah uang itu biasanya dalam jumlah yang tidak sedikit  nominalnya (berkisar di 1 jt – 100 an bahkan ada yang lebih).Na’udzubillahi minzalik.
Coba kita  bayangkan, jika dilihat dari sisi pinansialnya, dengan jumlah jutaan itu sungguh sangat mahal  makluk yang namanya lelaki di  Piaman bagi seorang waita yang ingin punya suami. Disisi lain,  apakah dengan jumlah  uang sebanyak itu sudah patut label harga  seorang anak manusia?
  Sepintas, sungguh sangat  enak jadi lelaki Pariaman, Jodoh dapat uangpun disikat. tapi ibarat dua sisi mata uang, justru keenakan itu mestilah dibayar mahal dengan anggapan miring dari pihak lain. Seorang lelaki di pariaman kalau saja tidak di jemput pakai wangilang merupakan aib yang sangat besar bagi silelaki, keluarga atau kaum beliau. Istilah ciloteh kadai “ Lai tukang baruak ba wangilang jo lai, konon ko awak lai tamakan bangku pendidikan” ( maaf tidak bermaksut merendahkan bidang pekerjaan tertentu/ dikutip dari ciloteh keseharian orang pariaman) .
Pada penerbitan  perdana ini penulis sengaja  mengangkat judul ini sebagai referensi dan pemikiran kita bersama untuk selektif dalam menerapkan budaya temurun. Setiap lelaki yang lahir dan dibesarkan  di pariaman patut untuk   mengetahui  hal ini.
Tanpa bermaksud menyalahkan Produk turunan budaya wangilang dari hasil enkulturasi tetua kita zaman dahulu, penulis mencoba paparkan sebuah penomena yang  terjadi di era kekinian terhadap keberadaan wangilang bagi lelaki pariaman.
Seorang Mahasiswa luar pariaman, pernah menuturkan pengalamanya  kepada penulis simahasiswa kenal dengan seorang wanita yang berasal dari luar pariaman. Kedekatan kedua anak adam itukian hari bertambah kuat, sehingga diikrarkan kesepakatan diantara keduanya kearah hubungan yang serius. Tak pernah terbayangkan oleh sepasang sejoli bahwa cita-cita mereka justru kandas hanya karena hal yang tak mestinya terjadi.Ketika sigadis  memperkenalkan pria pilihanya itu pada orang tuanya, kejujuran sang pria ketika memperkenalkan diri ternyata berbuah kekecewaan.
Identitas , asal usul berlabel Pariaman, spontan merubah suasana yang harmonis menjadi hambar, orang tua sang  gadis berucap, “ ooohhh,ajo piaman yo, maha bali e mah ndak? Petaka cintapun muncul harapan menyunting pujaan hati sirna, cinta  terhalang karena wangilang yang tidak sanggup dibayar oleh orang tua si wanita.

Ketakutan akan wangilang memunculkan persoalan baru yakni dapat memutus tali cinta Ibu dan anak. Setiap Ibu terutama yang tergolong  ekonomi lemah atau kaum marginal di Pariaman, maka wajar seketika akan melahirkan  anak perempuan, akan mengatakan “ ndeh, padusi pulo anak kito nan lahia. Lah jadi baban lo untuak keluarga”. Bagi keluarga di Pariaman, perempuan adalah “baban barek, singguluang batu” yang harus diperjuangkan bersama oleh keluarga.
Kenapa lahirnya anggapan demikian, karena setelah beliau besar nanti tentulah siwanita akan dicarikan jodohnya, sehingga tentunya tidak lepas dari wangilang yang harus dikeluarkan kepada calon suaminya kelak.
Dari kasus diatas, tampak jelas adanya diskriminasi dan apatisme sosial terhadap kaum lelaki di wilayah tertentu(khususnya Pariaman) di sisi pergaulan. Sehingga salah satunya, secara tidak langsung dikucilkan oleh tradisi budayanya sendiri terhadap pergaulan sosial dengan daerah lain.

Sisi lain, bila kita pandang dari sisi  Agama, maka keluhan seorang ibu yang melahirkan seorang anak perempuan justru sangat tak disukai Allah karena ajaran  Islam jelas mengatakan  bahwa “Anak adalah amanah dari Allah SWT”. Baik itu laki laki atau perempuan, karena anak adalah titipan Allah yang mestinya di Syukuri keberadaannya.

Disisi moral & Sosial : begitu beratnya beban keluarga terhadap perempuan Pariaman untuk dicarikan jodohnya, Bia jan Gadih gadang Indak balaki, indak ameh bungkah di-asah, indak kayu janjang dikapiang, biasanya pihak keluarga perempuan berupaya sekuat mungkin mencarikan solusinya, salah satunya Mangadai  Sawah Jo Ladang. Nah, ketika seluruh upaya tidak kunjung bisa diraih pihak keluarga menyarankan untuk siwanita mencari pasangan di luar Pariaman, agar tidak memikirkan wangilangnya.
Banyak lagi kefenomenalan prosesi wangilang di Pariaman ini yang melahirkan asumsi kearah yang kurang baik, sehingganya melahirkan Kasta – kasta tertentu yang membuat perbedaan yang semangkin nyata di tengah masyarakat.

Penulis yakin persoalan wangilang ditiadakan atau dilanjutkan akan melahirkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.Lantas,pada posisi mana seharusnya kita letakan ?Kiranya  kepada pemangku kepentingan Adat dan Budaya Pariaman, mau  membicarakan hal ini lebih serius lagi, tentunya untuk kebaikan pencitraan budaya Pariaman kedepannya, terutama kefenomenalan wangilang ini.
Penulis dalam hal ini tidak bermaksud melenyapkan atau  sebalik menjadikan prosesi wangilang menjadi bahagian dari ketetapan adat yang harus dipatuhi oleh setiap anak nagari di ranah Pariaman  saat ini, tapi lebih kepada mengajak untuk selektif “ patuik jo mungkin “ mengatur porsi besarannya, atau sistem peremajaannya. supaya tidak memberatkan bagi kalangan tertentu. Sebab bagai manapun prosesi wangilang ini adalah bahgian dari budaya yang perlu kita lestarikan bersama, Adat Lamo, pusako Zaman, adaiknyo samo kito rimbunkan, pusakonyo samo kito gampakan” tentunya ini mestinya  mengandung nilai keindahan & keunikan dimata orang lain, bukan sebaliknya mempenjarai golongan tertentu dimata masyarakat luar*(ak)