Oleh : ASRUL KHAIRI
Wangilang
adalah salah satu tradisi budaya di Pariaman, biasanya calon mempelai Perempuan
memberikan atau mempelai lelaki meminta sejumlah uang sebagai wangilang untuk calon mempelai laki-laki. Kebiasaan ini konon
kabarnya dimulai jauh semenjak zaman Bundo Kanduang hingga sekarang masih
melekat kental dalam pembawaan budaya Nikah Kawin di Pariaman. Adakah produk ini telah menjadi adat
dan budaya yang turun temurun “Adat Lamo, pusako Zaman, adaiknyo samo
kito rimbunkan, pusakonyo samo kito gampakan”
Kebiasaan wangilang itu kini kian hari tumbuh dan berkembang menjadi sebuah jargon dalam prosesi pernikahan pada kebanyakan keluarga orang Pariaman.
Tumbuh dan mengakar sebagai warisan budaya, wangilang menjadi sosok prosesi
yang fenomenal di tengah masyarakat pariaman, maupun yang berasal dari luar
daerah pariaman. Sebab kenapa tidak, untuk menjemput atau memilih seorang
lelaki di Pariaman sebagai calon suami mestilah keluarga perempuan harus
menyiapkan uang untuk penjemput si calon mempelai lelaki dan jumlah uang itu biasanya dalam jumlah yang
tidak sedikit nominalnya (berkisar di 1 jt – 100 an bahkan ada yang lebih).Na’udzubillahi
minzalik.
Coba kita bayangkan, jika dilihat dari sisi pinansialnya, dengan jumlah
jutaan itu sungguh sangat mahal makluk
yang namanya lelaki di Piaman bagi
seorang waita yang ingin punya suami. Disisi
lain, apakah dengan jumlah uang sebanyak itu sudah patut label harga seorang anak manusia?
Sepintas, sungguh sangat enak jadi lelaki Pariaman, Jodoh dapat uangpun
disikat. tapi ibarat dua sisi mata uang, justru keenakan itu mestilah dibayar
mahal dengan anggapan miring dari pihak lain. Seorang lelaki di pariaman kalau
saja tidak di jemput pakai wangilang merupakan aib yang sangat besar bagi
silelaki, keluarga atau kaum beliau. Istilah ciloteh kadai “ Lai tukang baruak ba wangilang jo lai, konon ko awak lai tamakan
bangku pendidikan” ( maaf tidak bermaksut merendahkan bidang pekerjaan
tertentu/ dikutip dari ciloteh keseharian orang pariaman) .
Pada penerbitan perdana ini penulis sengaja mengangkat
judul ini sebagai referensi dan pemikiran kita bersama untuk selektif dalam
menerapkan budaya temurun. Setiap lelaki yang
lahir dan dibesarkan
di
pariaman
patut untuk mengetahui hal ini.
Tanpa bermaksud
menyalahkan Produk turunan budaya wangilang dari hasil enkulturasi tetua kita
zaman dahulu, penulis mencoba paparkan sebuah penomena yang terjadi di era kekinian terhadap keberadaan wangilang bagi lelaki pariaman.
Seorang Mahasiswa luar pariaman, pernah menuturkan
pengalamanya kepada penulis simahasiswa
kenal dengan seorang wanita yang berasal
dari luar pariaman. Kedekatan kedua anak adam itukian hari bertambah kuat,
sehingga diikrarkan kesepakatan diantara keduanya kearah hubungan yang serius. Tak
pernah terbayangkan oleh sepasang sejoli bahwa cita-cita mereka justru kandas
hanya karena hal yang tak mestinya terjadi.Ketika sigadis memperkenalkan pria pilihanya itu pada orang
tuanya, kejujuran sang pria ketika memperkenalkan diri ternyata berbuah
kekecewaan.
Identitas , asal usul berlabel Pariaman, spontan merubah
suasana yang harmonis menjadi hambar, orang tua sang gadis berucap, “ ooohhh,ajo piaman yo, maha bali e mah ndak? Petaka cintapun
muncul harapan menyunting pujaan hati sirna, cinta terhalang karena wangilang
yang tidak sanggup dibayar oleh orang tua si wanita.
Ketakutan
akan wangilang memunculkan persoalan baru yakni dapat memutus tali cinta Ibu
dan anak. Setiap Ibu terutama yang tergolong
ekonomi lemah atau kaum marginal di Pariaman, maka wajar seketika akan
melahirkan anak perempuan, akan
mengatakan “ ndeh, padusi pulo anak kito
nan lahia. Lah jadi baban lo untuak keluarga”. Bagi keluarga di Pariaman,
perempuan adalah “baban barek,
singguluang batu” yang harus diperjuangkan bersama oleh keluarga.
Kenapa
lahirnya anggapan demikian, karena setelah beliau besar nanti tentulah siwanita
akan dicarikan jodohnya, sehingga tentunya tidak lepas dari wangilang yang
harus dikeluarkan kepada calon suaminya kelak.
Dari
kasus diatas, tampak jelas adanya diskriminasi dan apatisme sosial terhadap
kaum lelaki di wilayah tertentu(khususnya Pariaman) di sisi pergaulan. Sehingga
salah satunya, secara tidak langsung dikucilkan oleh tradisi budayanya sendiri
terhadap pergaulan sosial dengan daerah lain.
Sisi lain, bila kita pandang dari sisi Agama, maka keluhan seorang ibu yang melahirkan
seorang anak perempuan justru sangat tak disukai Allah karena ajaran Islam jelas mengatakan bahwa “Anak
adalah amanah dari Allah SWT”. Baik itu laki laki atau perempuan, karena
anak adalah titipan Allah yang mestinya di Syukuri keberadaannya.
Disisi moral & Sosial : begitu beratnya beban keluarga
terhadap perempuan Pariaman untuk dicarikan jodohnya, Bia jan Gadih gadang Indak balaki, indak ameh bungkah di-asah,
indak kayu janjang dikapiang, biasanya pihak keluarga perempuan berupaya sekuat
mungkin mencarikan solusinya, salah satunya Mangadai Sawah Jo Ladang. Nah, ketika seluruh upaya
tidak kunjung bisa diraih pihak keluarga menyarankan untuk
siwanita mencari pasangan di luar Pariaman, agar tidak memikirkan wangilangnya.
Banyak lagi kefenomenalan prosesi wangilang di Pariaman
ini yang melahirkan asumsi kearah yang kurang baik, sehingganya melahirkan
Kasta – kasta tertentu yang membuat perbedaan yang semangkin nyata di tengah
masyarakat.
Penulis yakin persoalan wangilang ditiadakan atau
dilanjutkan akan melahirkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.Lantas,pada
posisi mana seharusnya kita letakan ?Kiranya kepada pemangku kepentingan Adat dan Budaya Pariaman,
mau membicarakan hal ini lebih serius
lagi, tentunya untuk kebaikan pencitraan budaya Pariaman kedepannya, terutama
kefenomenalan wangilang ini.
Penulis dalam hal ini tidak bermaksud melenyapkan atau sebalik menjadikan prosesi wangilang menjadi
bahagian dari ketetapan adat yang harus dipatuhi oleh setiap anak nagari di
ranah Pariaman saat ini, tapi lebih
kepada mengajak untuk selektif “ patuik
jo mungkin “ mengatur porsi besarannya, atau sistem peremajaannya. supaya
tidak memberatkan bagi kalangan tertentu. Sebab bagai manapun prosesi wangilang
ini adalah bahgian dari budaya yang perlu kita lestarikan bersama, “Adat
Lamo, pusako Zaman, adaiknyo samo kito rimbunkan, pusakonyo samo kito gampakan”
tentunya ini mestinya mengandung nilai
keindahan & keunikan dimata orang lain, bukan sebaliknya mempenjarai
golongan tertentu dimata masyarakat luar*(ak)