“Kita adalah Pemilik Sah Republik
Ini”
di tulis Oleh : Asrul Khairi
Tidak
ada pilihan lain.
Kita
harus Berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga,
Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga,
Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para
pembunuh tahun
yang lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku?”
Tidak ada lagi pilihan lain.
Tidak ada lagi pilihan lain.
Kita
harus Berjalan terus Kita adalah manusia bermata sayu,
yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk
oplet dan bus yang penuh,
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup
sengsara Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya inikah
yang namanya merdeka
seribu
slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus.
( Taufik Ismaill/ 1966)
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus Berjalan terus.
( Taufik Ismaill/ 1966)
Potongan Bait Puisi
Karya Taufik Ismail Pujangga Besar asal ranah Minang ini seakan menampar wajah kita
sendiri. Kita yang menyebutkan identitas diri kita anak bangsa Indonesia, Kita
yang mengakui sang saka sebagai simbol kebanggan Bunda Pertiwi, Kita yang
tengah terlena menikmati hidup di negara yang telah merdeka, tanpa sedikitpun
terlintas akan ucapan terima kasih kepada
sang leluhur pendiri negeri ini. Kita sedang berbohong dan tentunya kita
sedang melakukan pembohongan besar kepada diri kita. Lantas kenapa kita
demikian? Coba reflksikan diri sejenak, Hati anak bangsa mana yang tidak
teriris pedih ketika bait puisi diatas mengalun dengan lembut dan tegas bait demi bait berdenyut menyayat-nyayat kita
punya rupa.
Coba lihat Indonesia
kita sekarang, namun sebelum itu coba torehkan kepala kebelakang. Indonesia
yang di masa perjuangan bertangiskan darah, mereka yang tidak di panggil tapi
terpanggil, mereka tidak di beri hak-hak tapi berhak dan mereka mengorbankan
diri demi tegaknya Indonesia yang kita nikmati sekarang. Sungguh negeri ini
berdiri di atas hutang darah segar ribuan bahkan jutaan syuhada yang gugur
tidak tercatat dan tentunya mereka tidak mau juga di catat karena mereka tidak
mencari keharuman nama, yang mereka inginkan Indonesia yang berdiri di atas
kakinya sendiri, Indonesia yang bisa di nikmati oleh anak cucunya kelak sebagai
pemilik syah Negeri ini.
Mereka telah
menunaikan pengabdiannya, meraka telah melunasi janjinya. Namun sekarang apa
yang telah kita perbuat untuk mereka? Apa yang sudah kita lakukan untuk
indonesia? Seakan kita menjadi pewaris bermata sayu bermentalkan ayam sayur, kita
bukannya menjadi macan simbol kegagahan rimba belantara, malah menjadi serigala
pemangsa yang bisanya melolong saat kelaparan. Tanpa kita sadari kita menjadi
penggadai warisan pertiwi. Malah yang lebih memilukan dan memalukan kita
menjadi penjajah di atas tanah kedaulatan kita sendiri, penindasan, saling
sikut menyikut dengan cara yang tidak lazim dan menjadi halal dalam simbol
pengakuan kekuasaan.
Krisis moral
menjangkit menjadi virus menular yang mematikan mental kebangsaan, krisis
kepercayaan yang di penuhi akan hujatan dan kepesimisan, kenakalan remaja
menjadi tren baru pengakuan identitas, Transformasi mental ke arah yang
menyesatkan, tapi kita menyebutnya kebanggaan. Aneh memang, tapi sesungguhnya
hati ini menangis, kita tidak di takdirkan sebagai bangsa yang lembek, karena
dasarnya kita terlahir di atas mental pejuang yang kuat, gagah dan pemberani.
Kita bukan di takdirkan menjadi bangsa pengemis, karena kemerdekaan bersimbah
darah bukanlah hadiah Belanda, Inggris ataupun Jepang, terus kenapa kita
menjadi mental yang peminta-minta.
Sering kita
menganggap ganjil dan salah tempat kalau kalu berada di lingkungan orang-orang
baik, dan tidak aneh kita menyebutnya denga istilah “kuper” atau pengecualian lainya dengan pemakaian istilah yang
sifatnya eksekutor. Kita menyebutnya kutu buku untuk para pemikir dan
konseptor, pengistilahan kata kutu yang notabane nya tidak lebih dari hama yang
mestinya di tindas dan kotor, Naudzubillah. Tapi terkesan kita melindungi
dengan istilah untuk hal-hal yang melanggar Normatif, maling kita manjakan
dengan panggilan Koruptor, sehingganya seakan tidak menakutkan dan tidak
terkesan tabu bagi generasi baru. Pelacur kita perindah denga istilah Tuna Susila
atau yang lebih syahdu lagi panggilan “Kupu-Kupu
Malam”, sehingganya menjadi semangkin indah di dengar bukan lagi menjadi pendengaran
sumbang bagi telinga dan banyak lagi lainya yang fenomenal dan tidak memilki
nilai pembangunan mental yang sesungguhnya.
kita rindu akan
kearifan lokal yang sudah mulai terinfeksi akan westernisasi. Indonesia rindu
sama orang baik dan kebaikan, Tentunya dalam dekadensi Multi krisis di negeri
ini Indonesia butuh pertolongan sebanyak-banyaknya orang-orang baik untuk
memper elok bumi sang saka ini.
di pengakhir tahun
ini Sudah saatnya kita merefleksi arah kita untuk Indonesia, mau di rias
seperti apa negeri ini kedepannya, karena sikap kita, mental kita, tindakan
kita, adalah potret negeri ini sesungguhnya. Kepada pemerintahan baru yang
terpilih tertuju harapan akan Indonesia yang lebih baik dan Indonesia yang
lebih hebat. Kita berharap akan selamat datang perubahan, ini tanah kita, ini
tumpah darah kita, kita halal memilikinya. Selamat Tahun Baru Indonesia Raya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar